Jumat, 15 April 2016

Cara Menyikapi Taksi Konvensional Vs Online


Cara menyikapi Taksi Konvensional Vs Online

Hari ini, huru-hara terjadi di ibu kota. Banyak supir taksi konvensional, meski tidak semua, semisal Blue Bird dan Express, berdemo menuntut agar taksi dan ojek yang berbasis aplikasi ditutup. Pasalnya, menurut klaim mereka, pendapatan berkurang seiring dengan meningkatnya popularitas dari taksi dan ojek online. Demo ini diwarnai dengan aksi kerusuhan, yang kemudian menjadikan warga ketakutan. Lantas, mengapa fenomena ini terjadi? Sebenarnya, terjadi perbedaan cara pandang di kedua pihak. Di pihak pengemudi taksi konvensional, mereka merasa dirugikan. Pertama, taksi konvensional terdaftar secara resmi di dinas perhubungan, sehingga berhak mendapat plat kuning, tanda angkutan umum sedangkan taksi berbasis aplikasi menggunakan kendaraan biasa, yang bukan untuk angkutan umum. Kedua, dengan mereka resmi sebagai angkutan umum, mereka pun berkewajiban membayar pajak yang berbeda dengan pengguna plat hitam, plat kendaraan biasa, yang juga digunakan oleh taksi berbasis aplikasi. Ketiga, taksi konvensional menggunakan metode menunggu penumpang, sedangkan taksi berbasis aplikasi menjemput penumpang. Keempat, yang paling krusial, adalah perbedaan tarif, tarif taksi konvensional jika dibandingkan dengan tarif taksi berbasis aplikasi berbeda jauh. Terakhir, ini adalah masalah adaptasi terhadap teknologi yang diambil peluangnya oleh pengguna taksi berbasis aplikasi, dan belum digarap dengan baik oleh pihak pengelola taksi konvensional.
Alasan yang dikemukakan oleh para sopir taksi resmi konvensional terhadap Uber dan Grab adalah akibat berkurangnya penghasilan harian mereka sejak taksi berbasis aplikasi online ini beroperasi. Meski beberapa perwakilan mereka mengemukakan alasan yang lebih “formal” yaitu karena taksi online ini beroperasi tanpa izin sesuai peraturan yang berlaku.

Sumber: http://www.kompasiana.com/famajiid/taksi-konvensional-vs-online-fenomena-perubahan-sosial_56f147a78f7a6182090c8281.

Terjadinya penolakan baik dalam kasus taksi resmi vs taksi online (Uber/Grab) atau taksi resmi vs Blue Bird, adalah saat zona nyaman sopir yang sudah lebih dulu ada terusik oleh kehadiran pesaing yang memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumennya. Bukan rahasia lagi, tanpa hadirnya pesaing para sopir taksi terbiasa memberikan layanan yang tidak layak kepada konsumennya. Mulai dari sistem borongan dengan harga seenaknya, tidak mau menggunakan argo, atau menggunakan argo kuda, kendaraan tua yang tidak layak, AC tidak menyala dll.
Itu baru dari kelayakan dan kenyamanan taksi, belum lagi ada upaya monopoli oleh perusahaan taksi tertentu di tempat tertentu. Di Bandara Husen Sastranegara Bandung misalnya, sampai saat ini konsumen tidak punya keleluasaan memilih taksi sendiri karena taksi sudah ditentukan oleh pengelola bandara di sana dengan tarif sistem borongan tanpa argo. Dalam pengalaman saya yang lain, di sebuah hotel bintang lima di Bandung dan di Batam, pihak hotel tidak berani memanggil taksi berargo yang diinginkan tamunya dengan alasan untuk hotel tersebut sudah “dikuasai” satu perusahaan taksi yang mangkal di depan hotel. Memanggil taksi selain yang mangkal di depan hotel akan mengakibatkan penghadangan dari sopir yang “menguasai” hotel tersebut dan hotel tak berdaya mengatasinya. Terpaksalah saya harus menggunakan taksi yang ada tanpa argo yang harganya sudah mereka tentukan sendiri.

Karena itu, dari sisi konsumen, saat tidak ada pilihan lain, mau tidak mau, suka tidak suka, konsumen terpaksa harus menggunakan taksi yang tidak nyaman tersebut. Maka ketika pilihan untuk menggunakan taksi yang lebih nyaman tersedia, dengan sendirinya taksi yang bersikap seenaknya akan ditinggalkan oleh konsumen. Konsekuensinya jelas, taksi tersebut akan kalah bersaing dan tentu penghasilan sopirnya akan berkurang drastis. Itulah yang melatarbelakangi mengapa taksi Blue Bird selalu ditolak oleh taksi lain saat awal beroperasi di sebuah kota. Blue Bird adalah salah satu perusahaan yang terkenal disiplin menggunakan argo, sopirnya memakai seragam dan sopan dan didukung oleh armada kendaraan yang prima. Tidak heran meskipun argo mereka lebih mahal (tarif atas) banyak konsumen menjadikan Blue Bird sebagai pilihan utama mereka.
Zaman berubah, kini taksi konvensional terbaik pun mendapat penantangnya. Taksi berbasis aplikasi online menawarkan kemudahan dan kenyamanan yang lebih dibanding taksi konvensional. Pengalaman saya sebagai konsumen, menggunakan taksi online ini kemudahan terasa dari sejak melakukan pemesanan. Cukup mengklik aplikasi di smartphone, lalu bisa melihat apakah ada taksi yang tersedia di sekitar kita dan lakukan pemesanan. Setelah pemesanan terkonfirmasi kita sudah mendapatkan perkiraan harga yang harus dibayar dan bisa memantau pergerakan taksi secara real-time dengan teknologi GPS. Bandingkan dengan pemesanan taksi konvensional melalui telepon, berbagai kemudahan tadi tidak bisa didapatkan. Belum lagi soal harga yang jauh lebih murah.
Kembali ke aksi demonstrasi yang terjadi hari ini, menarik untuk menyimak ungkapan hati beberapa sopir taksi konvensional. Rata-rata mereka mengeluhkan soal periuk nasi mereka sebagai “orang kecil” yang terampas oleh kehadiran taksi online ini. Saya setuju dengan keluhan mereka, tetapi sekaligus timbul pertanyaan bukankah sopir taksi online juga adalah orang-orang kecil yang sama-sama berjuang mencari nafkah? Dalam beberapa kesempatan berbincang dengan sopir taksi online yang menurutnya sebelumnya pernah bekerja sebagai taksi konvensional rata-rata mereka mengatakan penghasilan mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan penghasilan mereka saat masih bekerja di taksi konvensional. Sementara jika saya berbincang dengan sopir taksi konvensional, bahkan di tahun-tahun jauh sebelum taksi online hadir rata-rata mereka mengeluhkan tentang kecilnya penghasilan mereka karena kewajiban memenuhi target setoran. Hal itulah yang mendorong sebagian dari mereka tidak mau menggunakan argo dan menggunakan sistem borongan. Karena menurut mereka jika target setoran tidak terpenuhi mereka harus menombok kekurangannya.
Menjadi renungan menarik, sebenarnya dengan kehadiran taksi berbasis online ini, bukankah semua pihak jadi diuntungkan? Sopir diuntungkan karena penghasilan mereka lebih besar, konsumen lebih untung karena kemudahan dan kenyamanan (dan pilihan harga yang lebih kompetitif), dan pengusaha pun tetap mendapat keuntungan. Maka dengan mengingat win-win situation tadi sudah saatnya pemerintah sebagai regulator lebih bijak menyikapi kasus ini.

Sumber :
http://mediakonsumen.com/2016/03/22/opini/belajar-aksi-demonstrasi-sopir-taksi-uber-grab-blue-bird-dan-kepentingan-konsumen.


Solusi Nya
Kini, dengan adanya fenomena ini tidaklah bijak jika mencari pihak yang salah. Kalaupun ada pihak yang harus disalahkan, maka semua akan menjadi pantas untuk disalahkan. Mengapa? Pihak taksi konvensional salah karena tidak tanggap dengan perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi salah juga karena tidak mengikuti peraturan yang berlaku, juga mereka tidak menyediakan harga yang berkeadilan dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun juga menjadi salah, karena tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang ada. Maka, sebenarnya solusinya tinggallah jawaban dari kesalahan semua pihak ini. Pihak taksi konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi, buatlah layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat kuning, juga tidak memberikan harga yang terlampau jauh dengan yang sudah ada sehingga persaingan menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat peraturan, dan memastikan bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak ada ‘adu modal’ yang merupakan ciri kapitalisme dan bertentangan dengan ekonomi kerakyatan. Terakhir, masyarakat akan dengan mudah memilih dengan cerdas apa yang mereka hendak gunakan. Kerusuhan hari ini sangat disesalkan. Meski demikian, sudah sepatutnya ini membuka mata kita bahwa kita berada pada masa modernisasi yang membuahkan suatu perubahan sosial di masyarakat. Kalau urusan rezeki, tidak perlu dirisaukan. Karena jutaan orang pun mencari rezeki di ibukota kita tercinta.

Sumber : http://www.kompasiana.com/famajiid/taksi-konvensional-vs-online-fenomena-perubahan-sosial_56f147a78f7a6182090c8281







Solusi Kini, dengan adanya fenomena ini tidaklah bijak jika mencari pihak yang salah. Kalaupun ada pihak yang harus disalahkan, maka semua akan menjadi pantas untuk disalahkan. Mengapa? Pihak taksi konvensional salah karena tidak tanggap dengan perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi salah juga karena tidak mengikuti peraturan yang berlaku, juga mereka tidak menyediakan harga yang berkeadilan dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun juga menjadi salah, karena tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang ada. Maka, sebenarnya solusinya tinggallah jawaban dari kesalahan semua pihak ini. Pihak taksi konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi, buatlah layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat kuning, juga tidak memberikan harga yang terlampau jauh dengan yang sudah ada sehingga persaingan menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat peraturan, dan memastikan bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak ada ‘adu modal’ yang merupakan ciri kapitalisme dan bertentangan dengan ekonomi kerakyatan. Terakhir, masyarakat akan dengan mudah memilih dengan cerdas apa yang mereka hendak gunakan. Kerusuhan hari ini sangat disesalkan. Meski demikian, sudah sepatutnya ini membuka mata kita bahwa kita berada pada masa modernisasi yang membuahkan suatu perubahan sosial di masyarakat. Kalau urusan rezeki, tidak perlu dirisaukan. Karena jutaan orang pun mencari rezeki di ibukota kita tercinta.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/famajiid/taksi-konvensional-vs-online-fenomena-perubahan-sosial_56f147a78f7a6182090c8281
Kini, dengan adanya fenomena ini tidaklah bijak jika mencari pihak yang salah. Kalaupun ada pihak yang harus disalahkan, maka semua akan menjadi pantas untuk disalahkan. Mengapa? Pihak taksi konvensional salah karena tidak tanggap dengan perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi salah juga karena tidak mengikuti peraturan yang berlaku, juga mereka tidak menyediakan harga yang berkeadilan dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun juga menjadi salah, karena tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang ada. Maka, sebenarnya solusinya tinggallah jawaban dari kesalahan semua pihak ini. Pihak taksi konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi, buatlah layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat kuning, juga tidak memberikan harga yang terlampau jauh dengan yang sudah ada sehingga persaingan menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat peraturan, dan memastikan bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak ada ‘adu modal’ yang merupakan ciri kapitalisme dan bertentangan dengan ekonomi kerakyatan. Terakhir, masyarakat akan dengan mudah memilih dengan cerdas apa yang mereka hendak gunakan. Kerusuhan hari ini sangat disesalkan. Meski demikian, sudah sepatutnya ini membuka mata kita bahwa kita berada pada masa modernisasi yang membuahkan suatu perubahan sosial di masyarakat. Kalau urusan rezeki, tidak perlu dirisaukan. Karena jutaan orang pun mencari rezeki di ibukota kita tercinta.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/famajiid/taksi-konvensional-vs-online-fenomena-perubahan-sosial_56f147a78f7a6182090c8281

Kini, dengan adanya fenomena ini tidaklah bijak jika mencari pihak yang salah. Kalaupun ada pihak yang harus disalahkan, maka semua akan menjadi pantas untuk disalahkan. Mengapa? Pihak taksi konvensional salah karena tidak tanggap dengan perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi salah juga karena tidak mengikuti peraturan yang berlaku, juga mereka tidak menyediakan harga yang berkeadilan dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun juga menjadi salah, karena tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang ada. Maka, sebenarnya solusinya tinggallah jawaban dari kesalahan semua pihak ini. Pihak taksi konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi, buatlah layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat kuning, juga tidak memberikan harga yang terlampau jauh dengan yang sudah ada sehingga persaingan menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat peraturan, dan memastikan bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak ada ‘adu modal’ yang merupakan ciri kapitalisme dan bertentangan dengan ekonomi kerakyatan. Terakhir, masyarakat akan dengan mudah memilih dengan cerdas apa yang mereka hendak gunakan. Kerusuhan hari ini sangat disesalkan. Meski demikian, sudah sepatutnya ini membuka mata kita bahwa kita berada pada masa modernisasi yang membuahkan suatu perubahan sosial di masyarakat. Kalau urusan rezeki, tidak perlu dirisaukan. Karena jutaan orang pun mencari rezeki di ibukota kita tercinta.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/famajiid/taksi-konvensional-vs-online-fenomena-perubahan-sosial_56f147a78f7a6182090c8281

Kini, dengan adanya fenomena ini tidaklah bijak jika mencari pihak yang salah. Kalaupun ada pihak yang harus disalahkan, maka semua akan menjadi pantas untuk disalahkan. Mengapa? Pihak taksi konvensional salah karena tidak tanggap dengan perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi salah juga karena tidak mengikuti peraturan yang berlaku, juga mereka tidak menyediakan harga yang berkeadilan dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun juga menjadi salah, karena tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang ada. Maka, sebenarnya solusinya tinggallah jawaban dari kesalahan semua pihak ini. Pihak taksi konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi, buatlah layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat kuning, juga tidak memberikan harga yang terlampau jauh dengan yang sudah ada sehingga persaingan menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat peraturan, dan memastikan bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak ada ‘adu modal’ yang merupakan ciri kapitalisme dan bertentangan dengan ekonomi kerakyatan. Terakhir, masyarakat akan dengan mudah memilih dengan cerdas apa yang mereka hendak gunakan. Kerusuhan hari ini sangat disesalkan. Meski demikian, sudah sepatutnya ini membuka mata kita bahwa kita berada pada masa modernisasi yang membuahkan suatu perubahan sosial di masyarakat. Kalau urusan rezeki, tidak perlu dirisaukan. Karena jutaan orang pun mencari rezeki di ibukota kita tercinta.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/famajiid/taksi-konvensional-vs-online-fenomena-perubahan-sosial_56f147a78f7a6182090c8281

Tidak ada komentar:

Posting Komentar