Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Adanya
Masyarakat Ekonomi Asean bagi Indonesia
Masyarakat
Ekonomi Asean adalah integrasi kawasan ASEAN dalam bidang perekonomian.
Pembentukan MEA dilandaskan pada empat pilar. Pertama, menjadikan ASEAN sebagai
pasar tunggal dan pusat produksi. Kedua, menjadi kawasan ekonomi yang
kompetitif. Ketiga, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, dan pilar
terakhir adalah integrasi ke ekonomi global.
Penyatuan ini ditujukan untuk
meningkatkan daya saing kawasan, mendorong pertumbuhan ekonomi, menekan angka
kemiskinan dan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat ASEAN. Integrasi ini
diharapkan akan membangun perekonomian ASEAN serta mengarahkan ASEAN sebagai
tulang punggung perekonomian Asia.
Dengan dimulainya MEA maka setiap
negara anggota ASEAN harus meleburkan batas teritori dalam sebuah pasar bebas.
MEA akan menyatukan pasar setiap negara dalam kawasan menjadi pasar tunggal.
Sebagai pasar tunggal, arus barang dan jasa yang bebas merupakan sebuah
kemestian. Selain itu negara dalam kawasan juga diharuskan membebaskan arus
investasi, modal dan tenaga terampil.
MEA
memang sebuah kesepakatan yang mempunyai tujuan yang luar biasa namun beberapa
pihak juga mengkhawatirkan kesepakatan ini. Arus bebas barang, jasa, investasi,
modal dan tenaga kerja tersebut tak pelak menghadirkan kekhawatiran tersendiri
bagi beberapa pihak. Dalam hal ini pasar potensial domestik dan lapangan
pekerjaan menjadi taruhan. Sekedar bahan renungan, indek daya saing
global Indonesia tahun 2013-2014 (rangking 38) yang jauh di bawah Singapura
(2), Malaysia (24), Brunai Darussalam (26) dan satu peringkat di bawah Thailand
(37). Di sisi lain coba kita lihat populasi Indonesia yang hampir mencapai 40%
populasi ASEAN. Sebuah pasar yang besar tapi tak didukung daya saing yang
maksimal. Jangan sampai Indonesia mengulang dampak perdagangan bebas ASEAN
China. Berharap peningkatan perekonomian malah kebanjiran produk China.
B.
Peluang
dan tantangan Indonesia dalam kegiatan Masyarakat Ekonomi ASEAN
1.
Pada
Sisi Perdagangan
Menurut Santoso pada tahun 2008 Bagi Indonesia sendiri, MEA
akan menjadi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan cenderung
berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada
peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi
lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas
komoditas yang diperjual-belikan, contohnya untuk komoditas pertanian, karet,
produk kayu, tekstil, dan barang elektronik.
2. Pada Sisi
Investasi
kondisi ini dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign
Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui
perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya
manusia (human capital) dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia.
3.
Aspek
Ketenagakerjaan
Terdapat kesempatan yang sangat besar bagi para pencari
kerja karena dapat banyak tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan
akan keahlian yang beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri
dalam rangka mencari pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa
ada hambatan tertentu. MEA juga menjadi kesempatan yang bagus bagi para
wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang
diinginkan.
Riset
terbaru dari Organisasi Perburuhan Dunia atau ILO menyebutkan pembukaan pasar
tenaga kerja mendatangkan manfaat yang besar. Selain dapat menciptakan jutaan
lapangan kerja baru, skema ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta
orang yang hidup di Asia Tenggara. Pada 2015 mendatang, ILO merinci bahwa
permintaan tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta.
Sementara permintaan akan tenaga kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38
juta, sementara tenaga kerja level rendah meningkat 24% atau 12 juta.
Namun
laporan ini memprediksi bahwa banyak perusahaan yang akan menemukan pegawainya
kurang terampil atau bahkan salah penempatan kerja karena kurangnya pelatihan
dan pendidikan profesi.
Jadi,
penulis menyimpulkan bahwa peluang dan tantangan Indonesia dalam Mayarakat
Ekonomi ASEAN sangatlah besar. Indonesia dapat memperoleh beberapa keuntungan
diantaranya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun hal itu juga harus diikuti
oleh perbaikan kualitas sumber daya manusia, dan pemanfaatan sumber daya alam
semaksimal mungkin.
C. Resiko
yang dihadapi Indonesia saat MEA
1.
competition risk akan muncul dengan banyaknya barang impor yang akan
mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam industri lokal
dalam bersaing dengan produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal
ini pada akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara
Indonesia sendiri.
2.
exploitation risk dengan skala besar terhadap ketersediaan sumber daya alam
oleh perusahaan asing yang masuk ke Indonesia sebagai negara yang memiliki
jumlah sumber daya alam melimpah dibandingkan negara-negara lainnya. Tidak
tertutup kemungkinan juga eksploitasi yang dilakukan perusahaan asing dapat
merusak ekosistem di Indonesia, sedangkan regulasi investasi yang ada di
Indonesia belum cukup kuat untuk menjaga kondisi alam termasuk ketersediaan sumber
daya alam yang terkandung.
3.
risiko ketenagakarejaan dilihat dari sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia
masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura,
dan Thailand serta fondasi industri yang bagi Indonesia sendiri membuat
Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN.
Menurut
Media Indonesia, Kamis 27 Maret 2014, dengan adanya pasar barang dan jasa
secara bebas tersebut akan mengakibatkan tenaga kerja asing dengan mudah masuk
dan bekerja di Indonesia sehingga mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang
semakin ketat di bidang ketenagakerjaan.
Saat
MEA berlaku, di bidang ketenagakerjaan ada 8 (delapan) profesi yang telah
disepakati untuk dibuka, yaitu insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei,
tenaga pariwisata, praktisi medis, dokter gigi, dan akuntan Hal inilah yang
akan menjadi ujian baru bagi masalah dunia ketenagakerjaan di Indonesia karena
setiap negara pasti telah bersiap diri di bidang ketanagakerjaannya dalam
menghadapi MEA. Bagaimana dengan Indonesia? Dalam
rangka ketahanan nasional dengan tetap melihat peluang dan menghadapi tantangan
bangsa Indonesia di era MEA nantinya, khususnya terhadap kesiapan tenaga kerja
Indonesia sangat diperlukan langkah-langkah konkrit agar bisa bersaing
menghadapi tenaga kerja asing tersebut.
Namun
disisi lain, dengan adanya MEA, tentu akan memacu pertumbuhan investasi baik
dari luar maupun dalam negeri sehingga akan membuka lapangan pekerjaan baru. Selain itu, penduduk Indonesia akan dapat mencari pekerjaan di negara ASEAN lainnya dengan aturan yang
relatif akan lebih mudah dengan adanya MEA ini karena dengan terlambatnya perekonomian nasional saat ini dan
didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran per
februari 2014 dibandingkan Februari 2013 hanya berkurang 50.000 orang. Padahal
bila melihat jumlah pengguran tiga tahun terakhir, per Februari 2013
pengangguran berkurang 440.000 orang, sementara pada Februari 2012 berkurang
510.000 orang, dan per Februari 2011 berkurang sebanyak 410.000 orang (Koran
Sindo, Selasa, 6 Mei 2014). Dengan demikian, hadirnya MEA diharapkan akan
mengurangi pengangguran karena akan membuka lapangan kerja baru dan menyerap
angkatan kerja yang ada saat ini untuk masuk ke dalam pasar kerja.
Untuk
itu, penulis menyimpulkan bahwa resiko yang akan muncul dalam Masyarakat
Ekonomi ASEAN adalah persaingan industri lokal dengan industri asing,
pengeksploitasian sumber daya alam oleh Negara asing, serta persaingan tenaga
kerja lokal dengan tenaga kerja asing yang lebih berkualitas.
D. Cara
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
Banyak
cara sekaligus persiapan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada
2015. Hal ini juga merupakan tantangan karena sejatinya pola pikir dan semangat
pemerintah serta para pelaku ekonomi Indonesia masih seperti biasanya.
1. Menurut ekonom dari Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta Edy Suandi Hamid, pemerintah dan pelaku ekonomi harus lebih ofensif
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dengan memperluas pasar barang, jasa,
modal, investasi, dan pasar tenaga kerja. Adanya MEA harus dipandang sebagai
bertambahnya pasar Indonesia menjadi lebih dari dua kali lipat, yakni dari 250
juta menjadi 600 juta," katanya. Dengan pola pikir dan semangat seperti
itu, dia berharap Indonesia dapat memetik manfaat optimal dari MEA.
Perekonomian harus didorong lebih cepat tumbuh, ekspansif, dan berdaya saing,
bukan sebaliknya.
2. Menurut diplomat senior Makarin Wibisono juga mengingatkan
bahwa dalam menghadapi MEA 2015, Indonesia perlu memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan sektor jasa. "Liberalisasi pasar jasa akan menguntungkan bagi
Indonesia dalam dinamika MEA," kata Makarim dalam seminar Perhimpunan
Persahabatan Indonesia-Tiongkok di Jakarta, beberapa waktu lalu. Menurut dia,
liberalisasi pasar jasa menguntungkan karena meningkatkan kualitas serta
menentukan biaya kewajaran bagi tenaga kerja sehingga kemudian meningkatkan
daya saing di sektor industri. Pasar jasa yang efisien, menurut Makarim, akan
meningkatkan pilihan konsumen, produktivitas, kompetisi, dan kesempatan untuk
pembangunan sektor jasa baru. "Jika terjadi inefisiensi, dampak negatifnya
pada produktivitas, inovasi, distribusi teknologi, dan menghalangi tercapainya
pertumbuhan optimal," kata Duta Besar Indonesia untuk PBB (2004--2007)
ini.
3. Menurut rektor Universitas Sebelas Maret (Solo) Ravik
Karsidi salah satu persiapan UNS adalah dengan mempersiapkan sumber daya
manusia (SDM) dengan hard skill dan soft skill. Dari segi hard
skill, UNS mempersiapkan kurikulum agar mahasiswanya mampu bersaing dengan
lulusan perguruan tinggi luar negeri. Sementara itu, dari segi soft skill, UNS
membekali mahasiswanya dengan persiapan spiritual dan mental melalui pelatihan spiritual
quotient (SQ). Program ini ditindaklanjuti dengan pelatihan soft skill di
tingkat fakultas. Di antara pelatihan itu adalah tentang kepemimpinan,
komunikasi dan kemampuan bahasa.
Jadi
dapat penulis simpulkan, untuk mengatasi tantangan serta resiko yang mungkin
akan muncul dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat dilakukan dengan membekali
diri dengan ilmu pengetahuan, menanamkan rasa cinta terhadap produk dalam
negeri, serta mempertajam soft skill dan hard skill masyarakat.
Cara Lain Untuk Menghadapi MEA
(Masyarakat Ekonomi Asean)
Banyak cara sekaligus persiapan untuk menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. Hal ini juga merupakan tantangan
karena sejatinya pola pikir dan semangat pemerintah serta para pelaku ekonomi
Indonesia masih seperti biasanya.
Belum ada gerakan dan mereka masih terbius wacana. Padahal, menurut ekonom dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid, pemerintah dan pelaku ekonomi harus lebih ofensif menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dengan memperluas pasar barang, jasa, modal, investasi, dan pasar tenaga kerja.
"Adanya MEA harus dipandang sebagai bertambahnya pasar Indonesia menjadi lebih dari dua kali lipat, yakni dari 250 juta menjadi 600 juta," katanya, di Yogyakarta, Sabtu (22/11/2014).
Belum ada gerakan dan mereka masih terbius wacana. Padahal, menurut ekonom dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid, pemerintah dan pelaku ekonomi harus lebih ofensif menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dengan memperluas pasar barang, jasa, modal, investasi, dan pasar tenaga kerja.
"Adanya MEA harus dipandang sebagai bertambahnya pasar Indonesia menjadi lebih dari dua kali lipat, yakni dari 250 juta menjadi 600 juta," katanya, di Yogyakarta, Sabtu (22/11/2014).
Dengan pola pikir dan semangat seperti itu, dia
berharap Indonesia dapat memetik manfaat optimal dari MEA. Perekonomian harus
didorong lebih cepat tumbuh, ekspansif, dan berdaya saing, bukan sebaliknya.
"Misalnya, sekarang justru sektor manufaktur kita tumbuhnya melambat. Padahal, sektor itu diharapkan menjadi penggerak utama perekonomian nasional," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi UII ini.
"Misalnya, sekarang justru sektor manufaktur kita tumbuhnya melambat. Padahal, sektor itu diharapkan menjadi penggerak utama perekonomian nasional," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi UII ini.
Menurut dia, berbagai indikator yang ada sekarang
lebih banyak menunjukkan kelemahan, seperti indeks daya saing total, indeks
infrastruktur, indeks terkait dengan birokrasi, dan masih adanya pungli,
korupsi, dan suap yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Namun, kata Edy, hal
itu bukan sesuatu yang statik.
"Kemauan politik dari pemerintahan Jokowi-JK untuk percepatan dan perbaikan indikator-indikator tersebut, bisa memperbaiki daya saing secara revolutif sehingga bisa mengejar ketertinggalan itu," katanya.
Satu hal lain yang perlu diwaspadai, menurut dia, adalah pasar tenaga kerja, termasuk tenaga kerja terdidik. "MEA juga meliberalkan pasar tenaga kerja profesional," ujar Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) ini.
Padahal, kata dia, sekarang pun ada 600.000-an pengangguran intelektual. Tanpa ada perbaikan kualitas tenaga kerja Indonesia, bisa terjadi "booming" pengangguran intelektual. Oleh karena itu, Edy mengingatkan lembaga pendidikan tinggi tidak bisa hanya berjalan apa adanya seperti sekarang. Perguruan tinggi, menurut dia, bukan hanya ikut bertanggung jawab atas pengangguran terdidik yang ada, melainkan juga harus meningkatkan kualitas lulusannya.
"Perguruan tinggi harus menghasilkan lulusan yang sesuai dengan permintaan bursa kerja. Jika hal itu tidak dilakukan, bisa jadi perguruan tinggi hanya akan menambah masalah dengan melahirkan lebih banyak penganggur intelektual," katanya.
Sementara itu, diplomat senior Makarin Wibisono juga mengingatkan bahwa dalam menghadapi MEA 2015, Indonesia perlu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan sektor jasa. "Liberalisasi pasar jasa akan menguntungkan bagi Indonesia dalam dinamika MEA," kata Makarim dalam seminar Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, liberalisasi pasar jasa menguntungkan karena meningkatkan kualitas serta menentukan biaya kewajaran bagi tenaga kerja sehingga kemudian meningkatkan daya saing di sektor industri. "Sektor jasa yang efisien juga merupakan pilar penting untuk pertumbuhan ekonomi," katanya.
Pasar jasa yang efisien, menurut Makarim, akan meningkatkan pilihan konsumen, produktivitas, kompetisi, dan kesempatan untuk pembangunan sektor jasa baru. "Jika terjadi inefisiensi, dampak negatifnya pada produktivitas, inovasi, distribusi teknologi, dan menghalangi tercapainya pertumbuhan optimal," kata Duta Besar Indonesia untuk PBB (2004--2007) ini.
Sebelumnya, ASEAN telah mengadopsi ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada 15 Desember 1995 di Bangkok, yang intinya menghilangkan hambatan dalam sektor perdagangan jasa antarnegara anggota. Perdagangan jasa yang dimaksud terbagi dalam delapan sektor, yaitu transportasi laut dan udara, jasa bisnis, konstruksi, telekomunikasi, pariwisata, jasa finansial, kesehatan, dan logistik.
"Sektor jasa yang kompetitif menarik investor asing karena menciptakan iklim kerja yang kondusif untuk efektivitas operasi bisnis. Itu adalah salah satu hal yang dibutuhkan Indonesia saat ini," tambah dia.
Presiden Direktur Kelompok Usaha Bosowa Erwin Aksa menilai Indonesia masih menghadapi beberapa kendala dalam menghadapi persaingan pada era MEA 2015.
"Sejumlah kendala tersebut adalah masih lambannya layanan birokrasi, regulasi yang masih tumpang-tindih, serta kepastian hukum," kata Erwin.
Menurut dia, jika Indonesia mampu mengatasi beberapa kendala tersebut secepatnya, potensinya besar untuk dapat unggul dalam persaingan saat memasuki era MEA nanti. Setelah diberlakukannya MEA pada 2015, menurut Erwin, negara-negara di ASEAN tidak lagi dibatasi dalam perdagangan dan menjual jasa sehingga Indonesia harus mampu menjaga kemandirian bangsa di bidang ekonomi.
"Sayangnya, kalangan pengusaha sudah bergerak cepat mengikuti dinamika usaha, tetapi layanan birokrasi masih lamban," ujar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) periode 2011-2014 itu.
Dia menjelaskan prospek perekonomian Indonesia setelah diberlakukannya MEA, hendaknya pengusaha nasional mengutamakan efisiensi sehingga mampu bersaing dengan perusahaan dari negara tentangga.
Erwin juga mengatakan bahwa regulasi perdagangan di Indonesia harus dijaga agar tidak menghambat pengusaha lokal dalam menghadapi perdagangan bebas di ASEAN. Di bidang hukum, kata dia, diperlukan kepastian hukum yang akan berperan
penting agar dunia usaha dapat berjalan lancar.
"Harapan kami dari dunia usaha, pemerintah dapat membuat keputusan politik yang harmoni antara layanan birokrasi dan dinamika dunia usaha sehingga pengusaha nasional dapat bersaing dengan pengusaha dari negara tetangga," katanya.
Sementara Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram M. Firmansyah menilai belum berakhirnya secara permanen konflik di internal Dewan Perwakilan Rakyat bisa memengaruhi kesiapan Indonesia menghadapi MEA 2015.
"Kondisi politik yang belum mereda, akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dalam negeri," kata dia di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Oleh sebab itu, Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (Unram) ini menyarankan pemerintah menunda pemberlakuan MEA 2015.
"Kondisi politik dan ekonomi dalam negeri belum siap untuk bersaing. Menurut saya, kita perlu benahi dulu benang kusut kondisi dalam negeri," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa kisruh di internal DPR menyebabkan belum adanya regulasi yang prodaya saing bagi kepentingan MEA. "Bila ini terus dibiarkan, Indonesia akan babak belur menghadapi persaingan pasar bebas," jelas Firmansyah.
Idealnya, menurut dia, pada awal mulai bekerja, para anggota DPR sudah memikirkan daya saing masyarakat. Namun, faktanya mereka sibuk mencari keseimbangan posisi kekuasaan. Para wakil rakyat tidak melihat sisi ekonomi yang sudah parah karena tingkat pertumbuhan ekspor pada 2014 anjlok, dan diperkirakan akan terus menurun.
"Wajar pertumbuhan produksi industri Indonesia saat ini hanya mampu menggenjot angka 1,4 persen, sedangkan Filipina 9,6 persen, Vietnam 6,7 persen, dan Singapura 3,3 persen," ujar dia.
Ia juga menilai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sudah ditetapkan akan memukul daya saing industri dalam negeri," tambahnya.
Menurut dia, harga barang produksi menjadi lebih mahal karena biaya produksi membengkak dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Kemungkinan, kata Firmansyah, pasar Indonesia yang daya belinya turun akibat harga BBM bersubsidi naik, akan memilih barang-barang murah dari Tiongkok dan negara ASEAN lainnya daripada produk domestik.
Ia juga mengingatkan perbankan harus membenahi suku bunga kredit dalam negeri yang masih jauh lebih tinggi dibanding negara ASEAN lainnya.
"Jika tidak, pembiayaan kredit sektor riil dalam negeri akan berada di tangan bank asing. Bahkan, kredit konsumsi juga akan diambil alih bank asing,"
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/11/22/322298/banyak-cara-menghadapi-mea
"Kemauan politik dari pemerintahan Jokowi-JK untuk percepatan dan perbaikan indikator-indikator tersebut, bisa memperbaiki daya saing secara revolutif sehingga bisa mengejar ketertinggalan itu," katanya.
Satu hal lain yang perlu diwaspadai, menurut dia, adalah pasar tenaga kerja, termasuk tenaga kerja terdidik. "MEA juga meliberalkan pasar tenaga kerja profesional," ujar Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) ini.
Padahal, kata dia, sekarang pun ada 600.000-an pengangguran intelektual. Tanpa ada perbaikan kualitas tenaga kerja Indonesia, bisa terjadi "booming" pengangguran intelektual. Oleh karena itu, Edy mengingatkan lembaga pendidikan tinggi tidak bisa hanya berjalan apa adanya seperti sekarang. Perguruan tinggi, menurut dia, bukan hanya ikut bertanggung jawab atas pengangguran terdidik yang ada, melainkan juga harus meningkatkan kualitas lulusannya.
"Perguruan tinggi harus menghasilkan lulusan yang sesuai dengan permintaan bursa kerja. Jika hal itu tidak dilakukan, bisa jadi perguruan tinggi hanya akan menambah masalah dengan melahirkan lebih banyak penganggur intelektual," katanya.
Sementara itu, diplomat senior Makarin Wibisono juga mengingatkan bahwa dalam menghadapi MEA 2015, Indonesia perlu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan sektor jasa. "Liberalisasi pasar jasa akan menguntungkan bagi Indonesia dalam dinamika MEA," kata Makarim dalam seminar Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, liberalisasi pasar jasa menguntungkan karena meningkatkan kualitas serta menentukan biaya kewajaran bagi tenaga kerja sehingga kemudian meningkatkan daya saing di sektor industri. "Sektor jasa yang efisien juga merupakan pilar penting untuk pertumbuhan ekonomi," katanya.
Pasar jasa yang efisien, menurut Makarim, akan meningkatkan pilihan konsumen, produktivitas, kompetisi, dan kesempatan untuk pembangunan sektor jasa baru. "Jika terjadi inefisiensi, dampak negatifnya pada produktivitas, inovasi, distribusi teknologi, dan menghalangi tercapainya pertumbuhan optimal," kata Duta Besar Indonesia untuk PBB (2004--2007) ini.
Sebelumnya, ASEAN telah mengadopsi ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada 15 Desember 1995 di Bangkok, yang intinya menghilangkan hambatan dalam sektor perdagangan jasa antarnegara anggota. Perdagangan jasa yang dimaksud terbagi dalam delapan sektor, yaitu transportasi laut dan udara, jasa bisnis, konstruksi, telekomunikasi, pariwisata, jasa finansial, kesehatan, dan logistik.
"Sektor jasa yang kompetitif menarik investor asing karena menciptakan iklim kerja yang kondusif untuk efektivitas operasi bisnis. Itu adalah salah satu hal yang dibutuhkan Indonesia saat ini," tambah dia.
Presiden Direktur Kelompok Usaha Bosowa Erwin Aksa menilai Indonesia masih menghadapi beberapa kendala dalam menghadapi persaingan pada era MEA 2015.
"Sejumlah kendala tersebut adalah masih lambannya layanan birokrasi, regulasi yang masih tumpang-tindih, serta kepastian hukum," kata Erwin.
Menurut dia, jika Indonesia mampu mengatasi beberapa kendala tersebut secepatnya, potensinya besar untuk dapat unggul dalam persaingan saat memasuki era MEA nanti. Setelah diberlakukannya MEA pada 2015, menurut Erwin, negara-negara di ASEAN tidak lagi dibatasi dalam perdagangan dan menjual jasa sehingga Indonesia harus mampu menjaga kemandirian bangsa di bidang ekonomi.
"Sayangnya, kalangan pengusaha sudah bergerak cepat mengikuti dinamika usaha, tetapi layanan birokrasi masih lamban," ujar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) periode 2011-2014 itu.
Dia menjelaskan prospek perekonomian Indonesia setelah diberlakukannya MEA, hendaknya pengusaha nasional mengutamakan efisiensi sehingga mampu bersaing dengan perusahaan dari negara tentangga.
Erwin juga mengatakan bahwa regulasi perdagangan di Indonesia harus dijaga agar tidak menghambat pengusaha lokal dalam menghadapi perdagangan bebas di ASEAN. Di bidang hukum, kata dia, diperlukan kepastian hukum yang akan berperan
penting agar dunia usaha dapat berjalan lancar.
"Harapan kami dari dunia usaha, pemerintah dapat membuat keputusan politik yang harmoni antara layanan birokrasi dan dinamika dunia usaha sehingga pengusaha nasional dapat bersaing dengan pengusaha dari negara tetangga," katanya.
Sementara Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram M. Firmansyah menilai belum berakhirnya secara permanen konflik di internal Dewan Perwakilan Rakyat bisa memengaruhi kesiapan Indonesia menghadapi MEA 2015.
"Kondisi politik yang belum mereda, akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dalam negeri," kata dia di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Oleh sebab itu, Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (Unram) ini menyarankan pemerintah menunda pemberlakuan MEA 2015.
"Kondisi politik dan ekonomi dalam negeri belum siap untuk bersaing. Menurut saya, kita perlu benahi dulu benang kusut kondisi dalam negeri," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa kisruh di internal DPR menyebabkan belum adanya regulasi yang prodaya saing bagi kepentingan MEA. "Bila ini terus dibiarkan, Indonesia akan babak belur menghadapi persaingan pasar bebas," jelas Firmansyah.
Idealnya, menurut dia, pada awal mulai bekerja, para anggota DPR sudah memikirkan daya saing masyarakat. Namun, faktanya mereka sibuk mencari keseimbangan posisi kekuasaan. Para wakil rakyat tidak melihat sisi ekonomi yang sudah parah karena tingkat pertumbuhan ekspor pada 2014 anjlok, dan diperkirakan akan terus menurun.
"Wajar pertumbuhan produksi industri Indonesia saat ini hanya mampu menggenjot angka 1,4 persen, sedangkan Filipina 9,6 persen, Vietnam 6,7 persen, dan Singapura 3,3 persen," ujar dia.
Ia juga menilai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sudah ditetapkan akan memukul daya saing industri dalam negeri," tambahnya.
Menurut dia, harga barang produksi menjadi lebih mahal karena biaya produksi membengkak dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Kemungkinan, kata Firmansyah, pasar Indonesia yang daya belinya turun akibat harga BBM bersubsidi naik, akan memilih barang-barang murah dari Tiongkok dan negara ASEAN lainnya daripada produk domestik.
Ia juga mengingatkan perbankan harus membenahi suku bunga kredit dalam negeri yang masih jauh lebih tinggi dibanding negara ASEAN lainnya.
"Jika tidak, pembiayaan kredit sektor riil dalam negeri akan berada di tangan bank asing. Bahkan, kredit konsumsi juga akan diambil alih bank asing,"
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/11/22/322298/banyak-cara-menghadapi-mea
Persiapan Indonesia Dalam Menghadapi
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) / AEC (Asean
Economic Community) 2015 adalah proyek yang telah lama disiapkan seluruh
anggota ASEAN yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di
kawasan ASEAN dan membentuk kawasan ekonomi antar negara ASEAN yang kuat.
Dengan diberlakukannya MEA pada akhir 2015, negara anggota ASEAN akan mengalami
aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terdidik dari dan ke
masing-masing negara. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah
bagaimana Indonesia sebagai bagian dari komunitas ASEAN berusaha untuk
mempersiapkan kualitas diri dan memanfaatkan peluang MEA 2015, serta harus
meningkatkan kapabilitas untuk dapat bersaing dengan Negara anggota ASEAN
lainnya sehingga ketakutan akan kalah saing di negeri sendiri akibat
terimplementasinya MEA 2015 tidak terjadi.
Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru MEA dalam
upaya persiapan menghadapi pasar bebas ASEAN. Dalam cetak biru MEA, terdapat 12
sektor prioritas yang akan diintegrasikan oleh pemerintah. Sektor tersebut
terdiri dari tujuh sektor barang yaitu industri agro, otomotif, elektronik,
perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil.
Kemudian sisanya berasal dari lima sektor jasa yaitu transportasi udara,
kesehatan, pariwisata, logistik, dan teknologi informasi. Sektor-sektor tersebut
pada era MEA akan terimplementasi dalam bentuk pembebasan arus barang, jasa,
investasi, dan tenaga kerja.
Sejauh ini, langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia berdasarkan
rencana strategis pemerintah untuk menghadapi MEA / AEC, antara lain :
1. Penguatan Daya Saing
Ekonomi
Pada 27 Mei 2011, Pemerintah meluncurkan
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
MP3EI merupakan perwujudan transformasi ekonomi nasional dengan orientasi yang
berbasis pada pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif, berkualitas, dan
berkelanjutan. Sejak MP3EI diluncurkan sampai akhir Desember 2011 telah
dilaksanakan Groundbreaking sebanyak 94 proyek investasi sektor riil
dan pembangunan infrastruktur.
2. Program ACI (Aku
Cinta Indonesia)
ACI (Aku Cinta Indonesia) merupakan salah satu
gerakan ‘Nation Branding’ bagian dari pengembangan ekonomi kreatif
yang termasuk dalam Inpres No.6 Tahun 2009 yang berisikan Program Ekonomi
Kreatif bagi 27 Kementrian Negara dan Pemda. Gerakan ini sendiri masih berjalan
sampai sekarang dalam bentuk kampanye nasional yang terus berjalan dalam
berbagai produk dalam negeri seperti busana, aksesoris, entertainment,
pariwisata dan lain sebagainya. (dalam Kemendag RI : 2009:17).
3. Penguatan Sektor
UMKM
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan UMKM di
Indonesia, pihak Kadin mengadakan mengadakan beberapa program, antara lainnya
adalah ‘Pameran Koperasi dan UKM Festival’ pada 5 Juni 2013 lalu yang diikuti
oleh 463 KUKM. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan produk-produk UKM yang
ada di Indonesia dan juga sebagai stimulan bagi masyarakat untuk lebih kreatif
lagi dalam mengembangkan usaha kecil serta menengah.
Selain itu, persiapan Indonesia dari sektor
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) untuk menghadapi MEA 2015 adalah
pembentukan Komite Nasional Persiapan MEA 2015, yang berfungsi merumuskan
langkah antisipasi serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan KUKM
mengenai pemberlakuan MEA pada akhir 2015.
Adapun langkah-langkah antisipasi yang telah disusun
Kementerian Koperasi dan UKM untuk membantu pelaku KUKM menyongsong era pasar
bebas ASEAN itu, antara lain peningkatan wawasan pelaku KUKM terhadap MEA,
peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, peningkatan daya serap
pasar produk KUKM lokal, penciptaan iklim usaha yang kondusif.
Namun, salah satu faktor hambatan utama bagi
sektor Koperasi dan UKM untuk bersaing dalam era pasar bebas adalah kualitas
sumber daya manusia (SDM) pelaku KUKM yang secara umum masih rendah. Oleh
karena itu, pihak Kementrian Koperasi dan UKM melakukan pembinaan dan
pemberdayaan KUKM yang diarahkan pada peningkatan kualitas dan standar produk,
agar mampu meningkatkan kinerja KUKM untuk menghasilkan produk-produk yang
berdaya saing tinggi.
Pihak Kementerian Perindustrian juga tengah
melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan terhadap sektor industri kecil menengah
(IKM) yang merupakan bagian dari sektor UMKM. Penguatan IKM berperan penting
dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja dan
menghasilkan barang atau jasa untuk dieskpor. Selain itu, koordinasi dan
konsolidasi antar lembaga dan kementerian pun terus ditingkatkan sehingga
faktor penghambat dapat dieliminir.
4. Perbaikan
Infrastruktur
Dalam rangka mendukung peningkatan daya saing
sektor riil, selama tahun 2010 telah berhasil dicapai peningkatan kapasitas dan
kualitas infrastruktur seperti prasarana jalan, perkeretaapian, transportasi
darat, transportasi laut, transportasi udara, komunikasi dan informatika, serta
ketenagalistrikan :
- Perbaikan Akses Jalan dan Transportasi
- Perbaikan dan Pengembangan Jalur TIK
- Perbaikan dan Pengembangan Bidang Energi Listrik.
5. Peningkatan Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM)
Salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas SDM
adalah melalui jalur pendidikan. Selain itu, dalam rangka memberikan layanan
pendidikan yang bermutu, pemerintah telah membangun sarana dan prasarana
pendidikan secara memadai, termasuk rehabilitasi ruang kelas rusak berat. Data
Kemdikbud tahun 2011 menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 173.344 ruang
kelas jenjang SD dan SMP dalam kondisi rusak berat. (dalam Bappenas RI Buku I,
2011:36).
6. Reformasi
Kelembagaan dan Pemerintahan
Dalam rangka mendorong Percepatan Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi, telah ditetapkan strategi nasional pencegahan dan
pemberantasan korupsi jangka panjang 2012-2025 dan menengah 2012-2014 sebagai
acuan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk pelaksanaan aksi setiap tahunnya.
Upaya penindakan terhadap Tindak Pidana Korupsi (TPK) ditingkatkan melalui
koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK kepada Kejaksaan dan
Kepolisian.
Sementara itu, sebagian pendapat menyatakan bahwa
Indonesia Belum Siap akan MEA 2015. Salah satunya, Direktur
Eksekutif Core Indonesia (Hendri Saparini) menilai persiapan yang
dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
2015 masih belum optimal. Pemerintah baru melakukan sosialisasi tentang “Apa
Itu MEA” belum pada sosialisasi apa yang harus dilakukan untuk memenangi MEA.
Sosialisasi “Apa itu MEA" yang telah dilakukan pemerintah pun ternyata
masih belum 100% karena sosialisasi baru dilaksanakan di 205 kabupaten dari
jumlah 410 kabupaten yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Hendri menjelaskan besarnya komitmen pemerintah
terhadap kesepakatan MEA ternyata bertolak belakang dengan kesiapan dunia
usaha. Menurutnya dari hasil in-depth interview Core dengan para
pengusaha ternyata para pelaku usaha bahkan banyak yang belum mengerti adanya
kesepakatan MEA. Dia mengatakan salah satu strategi yang dipersiapkan
pemerintah menjelang MEA adalah Indonesia harus menyusun strategi industri,
perdagangan dan investasi secara terintegrasi karena dengan adanya implementasi
MEA beban defisit neraca perdagangan akan semakin besar maka dari itu membuat strategi
industri harus menjadi prioritas pemerintah.
Strategi dan persiapan yang selama ini telah
dilakukan oleh para stake holder yang ada di Indonesia dalam rangka
menghadapi sistem liberalisasi yang diterapkan oleh ASEAN, terutama dalam
kerangka integrasi ekonomi memang dirasakan masih kurang optimal. Namun hal
tersebut memang dilandaskan isu-isu dalam negeri yang membutuhkan penanganan
yang lebih intensif. Diperlukan kedisiplinan dari pihak pemerintah, terutama
yang berkaitan dengan wacana persiapan menghadapi realisasi AEC ditahun 2015,
yaitu dengan peningkatan pengawasan terhadap perkembangan implementasi sistem
yang terdapat dalam Blue Print AEC.
Sumber :
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.2009, “Menuju
ASEAN Economic Community 2015”, Jakarta.
KPPN/Bappenas.2012.”Rencana Kerja Pemerintah
Tahun 2013”.Buku I.
KPPN/Bappenas.2013.”Rencana Kerja Pemerintah
Tahun 2013”.Buku II.
Sholeh. 2013. “Persiapan Indonesia Dalam
Menghadapi AEC (Asean Economic Community) 2015”. eJournal Ilmu
Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 509-522.
PELUANG, TANTANGAN, DAN RISIKO BAGI
INDONESIA DENGAN ADANYA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Indonesia dan negara-negara di
wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang
dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk
realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Terdapat empat hal yang akan menjadi
fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk
Indonesia. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan
sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan
pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal
dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari
satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai
kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu
kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection,
Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce.
Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat
perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen;
mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi
yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation,
dan; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan
sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan
memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan
dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap
informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal
peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan
secara penuh terhadap perekonomian global. Dengan dengan membangun sebuah
sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain
itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada
jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada
negara-negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya
terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun juga
memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.
Berdasarkan ASEAN Economic
Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan
antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan
meningkatkan ketergantungan anggota-anggota didalamnya. MEA dapat mengembangkan
konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan menghasilkan blok
perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan
importir non-ASEAN.
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan
menjadi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan cenderung
berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada
peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi
lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas
komoditas yang diperjualbelikan, contohnya untuk komoditas pertanian, karet,
produk kayu, tekstil, dan barang elektronik (Santoso, 2008). Dalam hal ini competition
risk akan muncul dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir dalam
jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam industri lokal dalam bersaing
dengan produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal ini pada
akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara Indonesia
sendiri.
Pada sisi investasi, kondisi ini
dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign Direct Investment
(FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan
teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human
capital) dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. Meskipun begitu,
kondisi tersebut dapat memunculkan exploitation risk. Indonesia
masih memiliki tingkat regulasi yang kurang mengikat sehingga dapat menimbulkan
tindakan eksploitasi dalam skala besar terhadap ketersediaan sumber daya alam
oleh perusahaan asing yang masuk ke Indonesia sebagai negara yang memiliki
jumlah sumber daya alam melimpah dibandingkan negara-negara lainnya. Tidak
tertutup kemungkinan juga eksploitasi yang dilakukan perusahaan asing dapat
merusak ekosistem di Indonesia, sedangkan regulasi investasi yang ada di
Indonesia belum cukup kuat untuk menjaga kondisi alam termasuk ketersediaan
sumber daya alam yang terkandung.
Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat
kesempatan yang sangat besar bagi para pencari kerja karena dapat banyak
tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian yang beraneka
ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari
pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan
tertentu. MEA juga menjadi kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk
mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Dalam hal ini
dapat memunculkan risiko ketenagakarejaan bagi Indonesia. Dilihat dari
sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga
kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi
industri yang bagi Indonesia sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat
keempat di ASEAN (Republika Online, 2013).
Dengan hadirnya ajang MEA ini,
Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan skala ekonomi dalam
negeri sebagai basis memperoleh keuntungan. Namun demikian, Indonesia masih
memiliki banyak tantangan dan risiko-risiko yang akan muncul bila MEA telah
diimplementasikan. Oleh karena itu, para risk professional diharapkan
dapat lebih peka terhadap fluktuasi yang akan terjadi agar dapat mengantisipasi
risiko-risiko yang muncul dengan tepat. Selain itu, kolaborasi yang apik antara
otoritas negara dan para pelaku usaha diperlukan, infrastrukur baik secara
fisik dan sosial(hukum dan kebijakan) perlu dibenahi, serta perlu adanya
peningkatan kemampuan serta daya saing tenaga kerja dan perusahaan di
Indonesia. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi penonton di negara sendiri di
tahun 2015 mendatang.
http://crmsindonesia.org/knowledge/crms-articles/peluang-tantangan-dan-risiko-bagi-indonesia-dengan-adanya-masyarakat-ekonomi